Kasus pembunuhan Munir Said Thalib adalah seorang aktivis yang menjadi korban pembunuhan di dalam pesawat pada tanggal 7 September 2004. Munir mengalami keracunan di udara dalam perjalanan dari Jakarta ke Amsterdam. Kasus ini masih menyisakan tanda tanya bahkan setelah 18 tahun berlalu. Penyebab dan pelaku pembunuhan Munir masih belum terungkap hingga saat ini. Munir sendiri merupakan salah satu pendiri KontraS, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan, sebuah lembaga nirlaba yang berfokus pada hak asasi manusia, terutama fenomena penculikan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya.
Munir Said Thalib lahir di Jawa Timur, tepatnya di kota Batu. Ia adalah anak keenam dan terakhir dari pasangan Said Thalib dan Jamilah Umar Thalib, cucu dari pasangan Umar Muhammad Thalib dan Salmah Said Bajerei yang lahir pada tahun 1926 di Singapura. Nenek buyut Said Thalib Munir bahkan pernah tampil dalam film Si Gomar pada tahun 1941. Dia adalah keturunan Arab Hadhrami dan Jawa.
Munir menempuh pendidikan sarjana hukum di Universitas Brawijaya, Malang, pada Fakultas Hukum. Semasa kuliah, beliau aktif di Perhimpunan Mahasiswa Hukum Indonesia, Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Pemikiran, serta Himpunan Mahasiswa Islam dan pernah menjabat sebagai Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Hukum. Beliau menyelesaikan gelar sarjana hukumnya pada tahun 1989.
Setelah menyelesaikan pendidikannya, Munir mengambil langkah pertama dengan menjadi relawan di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya selama dua tahun sebelum kembali ke Malang sebagai Kepala Kantor LBH Surabaya dan Wakil Direktur Operasional Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
Munir telah melayani tujuan-tujuan hak asasi manusia, khususnya, tindakan-tindakan hukum yang banyak disebut-sebut oleh banyak orang, pada masa Orde Baru di Indonesia. Ia menjadi penasihat hukum bagi keluarga tiga petani yang dibunuh oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI) di proyek Waduk Nipah di Sampang Banyuates dan juga keluarga korban penembakan di Lantek Barat, Galis, Bangkalan.
Pada tahun 1998, Munirsangkatan menjadi anggota Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia yang bergerak di bidang perlindungan orang hilang dan korban kekerasan, yang didirikan pada tahun 1998, KontraS.
Sebagai Koordinator Badan Pekerja KontraS, Munir terlibat dalam kasus penghilangan paksa dan penculikan aktivis HAM pada tahun 1997-1998 dan kasus penembakan korban tragedi Mahasiswa Semanggi (1998). Selain itu, ia juga aktif melindungi dan mengintervensi beberapa kasus ekstrimitas di Aceh pada masa Operasi Jaring Merah (1990-1998) dan Operasi Terpadu (2003-2004).
Setelah kegagalan KontraS, Munir menjabat sebagai direktur Imparsial, sebuah LSM yang memantau Gerakan Penghormatan dan Penegakan Hak Asasi Manusia di Indonesia.
Tiga jam setelah lepas landas penerbangan GA-974 dari Singapura, awak kabin menginformasikan kepada pilot Pantun Matondang bahwa ada seorang penumpang yang menderita sakit yang duduk di kursi 40 G dengan nama Munir Matondang menderita sakit. Munir pun berjalan ke toilet. Kapten meminta awak kabin untuk terus mengamati keadaan Munir. Pada saat itu, dia juga dipindahkan ke kursi di sebelah penumpang yang merupakan seorang dokter dan mencoba membantunya juga. Saat itu, penerbangan menuju Amsterdam memakan waktu dua belas jam. Namun, dua jam sebelum pendaratan pada tanggal 7 September 2004 pukul 8.10 pagi waktu setempat di Bandara Schiphol Amsterdam, Munir telah meninggal dunia.
Sesuai berita pada tanggal 12 November 2004, dilaporkan bahwa polisi di Belanda (The Netherlands Forensic Institute) menemukan jejak senyawa Arsenik pada hasil visum. Hal ini juga didukung oleh kepolisian Indonesia. Namun, masih menjadi misteri bagaimana Munir diracun.
Jenazahnya dimakamkan di Pemakaman Umum Kota Batu. Munir meninggalkan seorang istri, Suciwati, dan dua orang anak, Sultan Alif Allende dan Diva. Sejak tahun 2005, setelah kematian Munir, tanggal 7 September ditetapkan sebagai Hari Pembela Hak Asasi Manusia oleh para aktivis hak asasi manusia.
Pada tanggal 20 Desember 2005, Pollycarpus Budihari Priyanto dipenjara selama 14 tahun sebagai terpidana atas pembunuhan Munir. Pengadilan menyatakan bahwa Pollycarpus, seorang pilot Garuda Airlines, menuangkan racun ke dalam makanan Munir agar pengkritik pemerintah itu mati dalam diam. Hakim Cicut Sutiarso kemudian menambahkan, bahwa sebelum kejadian tersebut, Pollycarpus telah melakukan beberapa kali telepon ke nomor milik seorang perwira intelijen senior namun tidak menjelaskan lebih lanjut mengenai informasi lain yang diberikan. Selain itu, juga mengusulkan kepada Presiden SBY untuk membentuk Komisi Independen Anti Korupsi, meskipun tidak pernah ada hasil dari investigasi tersebut.
Pada tanggal 19 Juni 2008, Mayor (Purnawirawan) Tomas ditangkap, karena ada alasan kuat untuk meyakini bahwa ia adalah orang yang berada di balik pembunuhan Munir. Banyak bukti dan saksi yang mengarah kepadanya. Namun pada tanggal 31 Desember 2008, Muchdi akhirnya dinyatakan tidak bersalah. Keputusan tersebut menimbulkan banyak perdebatan dan evaluasi ulang terhadap kasus ini dimana tiga hakim yang membebaskannya kini sedang diselidiki.
Pada tahun 1998, majalah Ummat menobatkan Munir sebagai Munir Man of the Year. Pada tahun 2000, Munir menerima penghargaan bergengsi Right Livelihood Award bersama dengan Tewolde Berhan Gebre Egziabher, Birsel Lemke, dan Wes Jackson. Majalah Asiaweek juga memilihnya pada tahun yang sama sebagai salah satu dari “20 Pemimpin Politik Muda Asia di Milenium Baru”. Terakhir, Penghargaan Madanjeet Singh dari UNESCO untuk Promosi Toleransi dan Anti-kekerasan dan rekonsiliasi membuatnya mendapatkan penghargaan sebagai Honorable Mention.
Dibawah ini akan dijelaskan kronologi panjang kasus Munir dari tahun 2004 hingga 2022.
7 September 2004
Munir meninggal dunia di dalam pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA – 974 dalam perjalanan menuju Amsterdam untuk melanjutkan studi pascasarjana. Temuan dari Lembaga Forensik Belanda, NFI, pada bulan November 2004 menyatakan bahwa Munir meninggal akibat racun arsenik.
18 Maret 2005
Pike dan Megan C Fisher yang sudah meninggal. Di Salt Lake Pakistan, Pollycarpus Budihari Priyanto, seorang pilot senior Garuda Indonesia menjadi tersangka dalam kasus Munir bersama dengan dua orang kru Garuda, yaitu awak kabin Oedi Irianto dan pramugari Yeti Susmiarti. Pollycarpus dinyatakan sebagai terdakwa atas tuduhan konspirasi untuk melakukan pembunuhan pada bulan Desember 2005. Jaksa Penuntut Umum meminta Pollycarpus dihukum penjara seumur hidup.
3 Oktober 2006
Mahkamah Agung Republik Indonesia pada tahun 2007 menyatakan bahwa tidak ada bukti yang cukup untuk membuktikan bahwa Pollycarpus melakukan pembunuhan berencana dalam kasus kematian Munir.
Polly juga diadili dan dinyatakan bersalah atas pelanggaran kepemilikan dokumen perjalanan orang lain dan dihukum dua tahun kurungan.
25 Desember 2006
Pollycarpus resmi bebas dari LP Cipinang setelah mendapatkan remisi 2 bulan dan “remisi khusus” 1 bulan.
10 April 2007
Pada April 2007, mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Indra Setiawan, ditetapkan sebagai tersangka baru. Pada bulan Februari 2008, kasus yang menjerat mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Indra Setiawan mulai disidangkan dan dijatuhi hukuman 1 tahun penjara.
19 Juni 2008
Muchdi Purwoprandjono (Muchdi Pr) ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus pembunuhan Munir. Muchdi Pr dianggap terlibat dalam situasi dan peristiwa yang mengarah pada pembunuhan Munir.
31 Desember 2008
Pengadilan Tinggi Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi yang sebelumnya menangani kasus ini, memutuskan untuk membebaskan terdakwa dari segala tuntutan dari pemohon banding.
10 Juli 2009
Pembatalan Putusan Akhir dan Putusan Judex Arbitrase Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tertanggal 25 Juli 2006. HEB ini diambil oleh majelis kasasi (mahkamah agung) dalam perkara yang diperiksa oleh majelis hakim Valerine J.L. Kriekhof, H Pha dan Muchsin.
28 Januari 2010
Mahkamah Agung menghukum Garuda Indonesia dan memerintahkan untuk membayar ganti rugi kepada istri Munir, Suciwati, lebih dari Rp 3 miliar.
2 Oktober 2013
Pollycarpus mengajukan PK dan Mahkamah Agung memutuskan untuk mengurangi masa hukuman penjara Pollycarpus dari 20 tahun menjadi 14 tahun.
13 Oktober 2016
Namun, Joko Widodo menyurati HM Prasetyo untuk melakukan penyelidikan ulang terhadap kasus Munir. Februari 2017 Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) membatalkan keputusan KIP tentang dokumen TPF kematian Munir.
September 2017
Suciwati menulis surat kepada Presiden Jokowi. Suciwati menagih janji Presiden Jokowi untuk menyelesaikan kasus kematian suaminya, Munir Said Thalib. September 2018 Pada saat itulah perwakilan Amnesty International meminta Polri untuk melanjutkan investigasi dan memeriksa fakta-fakta yang muncul dari persidangan Munir. Polri juga diminta untuk membentuk unit khusus di dalam kepolisian untuk menangani kasus ini dengan melibatkan berbagai ahli.
September 2019
Koalisi Keadilan untuk Munir meminta Presiden Jokowi untuk membuka kepada publik dokumen laporan hasil penyelidikan Tim Pencari Fakta (TPF) kasus pembunuhan aktivis hak asasi manusia (HAM) Munir Said Thalib. Hal ini mengacu pada Keputusan Presiden Nomor 111 Tahun 2004 tentang Pembentukan Tim Pencari Fakta Kasus Pembunuhan Munir Said Thalib.
September 2020
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) merupakan salah satu LSM yang bersikeras bahwa kasus Munir harus ditetapkan sebagai kejahatan kemanusiaan yang berat.
7 September 2022
Komnas HAM membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia, khususnya kematian aktivis Munir Said Thalib.
11 September 2022
Hacker Bjorka yang menjadi viral di media sosial membeberkan ke publik sosok di balik pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib. Di Twitter, para pemain telah memicu tren tentang Bjorka dan Munir pada tanggal 11 September 2022.
Trending topic ini bermula dari tuntutan netizen agar Bjorka membuka diri tentang kasus pembunuhan Munir atau Supersemar.
Nyamar kemudian menyatakan bahwa ia telah mengungkap identitas pelaku di balik perencanaan pembunuhan Munir dan membagikan sebuah artikel koran yang berkaitan dengan kasus ini, di mana disebutkan bahwa yang mendalangi pembunuhan Munir adalah Muchdi Purwopranjono.
Masih mencari perhatian pada ancaman peretasan, peretas Bjorka memposting doxxing lainnya. Dalam tulisan-tulisannya, Bjorka kini lebih menghargai subjeknya saat menulis, sehingga kini ia mengaku memposting data-data pribadi yang cukup canggih dari Muchdi Purwopranjono, seperti nomor telepon, alamat email, NIK, nomor KK, alamat rumah, bahkan informasi vaksinasi.
Setelah memposting data informasi pribadi penggugat yang juga mantan Wakil Kepala Densus 88 Antiteror Polri Muchdi Purwopranjono, banyak warganet yang seolah meremehkan apa yang telah dilakukan oleh Bjorka. Ini adalah ulasan artikel tentang kasus pembunuhan Munir, aktivis hak asasi manusia yang dibunuh pada tahun 2004. Hingga saat ini, kasus ini belum terselesaikan. Diharapkan artikel ini akan berguna untuk menambah wawasan Anda. Bimbingan Les Privat Edumaster menawarkan pelajaran yang lebih personal di setiap mata pelajaran untuk memastikan bahwa setiap anak memahami mata pelajaran melalui pengajaran khusus. Kami dapat membantu anak Anda mencapai potensi akademis penuh sekarang, baik untuk belajar untuk ujian atau memahami konsep-konsep dasar!
Sejarah Kesultanan Cirebon Mengenal sejarah Kesultanan Cirebon ialah salah satu kerajaan Islam yang terletak di…
Orang tua di Indonesia saat ini banyak yang ingin anaknya bersekolah di luar negeri sehingga…
Setiap orang tua pasti tak sedikit yang mencari cara menyekolahkan anak di luar negeri, dengan…
Dengan mencari rekomendasi SMA terbaik di Malaysia bisa menjadi pilihan bagi beberapa orang tua yang…
Meningkatnya kesadaran motivasi orang tua menyekolahkan anak di sekolah Islam untuk masa depan. Setiap orang…
Alat musik melodis adalah alat musik yang mampu menghasilkan nada dan irama untuk menciptakan komposisi…