Mengenal Sejarah Koperasi dan Perkembangan Koperasi di Indonesia

Table of Contents

Sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga menengah atas, kita telah mengenal sejarah koperasi sebagai bagian dari pelajaran sejarah dan ekonomi. Badan usaha ini tak sekadar wadah bisnis, melainkan sebuah gerakan yang bertujuan memajukan kesejahteraan para anggotanya.

Sejarah Koperasi

Jejak langkah koperasi di tanah air sudah dimulai sejak lebih dari seabad lalu, tepatnya pada 1886, dan terus berkembang hingga hari ini. Lalu, seperti apa perjalanan panjang koperasi Indonesia? Berikut ini Edumaster akan membagikan beberapa materi penjelasan mengenai sejarah koperasi ya teman-teman.

Mengenal Sejarah Koperasi

Mengenal sejarah koperasi bukan hanya lembaga bisnis biasa. Ia adalah kisah nyata tentang gotong royong, tentang semangat manusia yang bersatu untuk melawan kesenjangan. Awalnya, ia lahir dari desa-desa kecil di Eropa, lalu berlayar mengarungi zaman, hingga akhirnya tumbuh subur di Nusantara. Yuk, kita ikuti perjalanan koperasi yang dimulai dari cikal bakalnya di belahan dunia lain hingga ia menemukan rumahnya di tanah pertiwi.

Asal usul kata “koperasi” bermula dari bahasa Inggris, cooperation, yang jika kita artikan dalam bahasa Indonesia berarti “kerja sama”. Namun, lebih dari sekadar kata, koperasi adalah wujud nyata dari semangat kebersamaan. Berdasarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992, koperasi digambarkan sebagai sebuah badan usaha yang dimiliki oleh sekelompok orang, dengan landasan kegiatan berpegang pada prinsip-prinsip koperasi sekaligus menjadi bagian dari gerakan ekonomi rakyat yang mengedepankan semangat kekeluargaan.

Bung Hatta, sang proklamator sekaligus Bapak Koperasi Indonesia, memandang koperasi dengan sudut pandang yang lebih hangat. Baginya, koperasi bukan hanya sekadar badan usaha, melainkan wadah bersama yang mengusung nilai-nilai kekeluargaan dan gotong royong merupakan sebuah cerminan dari budaya luhur bangsa.

Jika kita menelusuri sejarah koperasi, gerakan koperasi sebenarnya telah menggeliat sejak pertengahan abad ke-18 hingga awal abad ke-19. Di masa itu, koperasi dikenal dengan sebutan Koperasi Pra-Industri. Kehadirannya muncul sebagai bentuk perlawanan terhadap Revolusi Industri yang gagal mewujudkan janji-janji mulia yaitu Liberté, Égalité, Fraternité yang artinya Kebebasan, Kesetaraan, dan Persaudaraan. Di tengah kesenjangan yang kian melebar, koperasi hadir sebagai jawaban, membawa harapan baru dengan semangat kebersamaan yang lebih manusiawi.

Dengan begitu, koperasi bukan hanya tentang bisnis, melainkan juga tentang bagaimana manusia saling menguatkan, berbagi, dan tumbuh bersama.

Sejarah Koperasi Dunia

Di jantung sejarah koperasi dunia terukir sebuah paradoks yaitu ia lahir bukan dari kemakmuran, melainkan dari penderitaan. Awal abad ke-19 menjadi saksi bagaimana Revolusi Industri di Eropa menciptakan dua dunia yang bertolak belakang sementara di satu sisi, para pemilik pabrik yang kaya raya; di sisi lain, buruh dan petani yang terjepit dalam lingkaran kemiskinan. Upah yang tak manusiawi, harga bahan pokok yang dimonopoli, dan sistem ekonomi yang eksploitatif memicu gelombang penderitaan massal.

Sejarah Koperasi

Pada 21 Desember 1844, di sebuah bangunan sederhana di Toad Lane, Rochdale—kota kecil di Inggris utara diantaranya 28 pekerja tekstil yang frustasi oleh sistem yang menindas mendirikan Rochdale Society of Equitable Pioneers. Mereka bukanlah kaum terpelajar atau bangsawan, melainkan para flannel weavers (penenun kain wol) yang hidupnya porak-poranda akibat mekanisasi pabrik. Dengan modal patungan sebesar £28 (setara £3.500 hari ini), mereka membuka toko kecil yang menjual tepung, gula, mentega, dan oatmeal dengan prinsip yang revolusioner:

Menjual barang dengan harga wajar, bukan harga tinggi seperti praktik pedagang kapitalis.Keuntungan dibagi secara proporsional berdasarkan transaksi anggota, bukan berdasarkan modal. Tidak peduli seberapa besar modal yang disetor, setiap anggota punya hak suara yang sama.

Prinsip ini, yang kelak dikenal sebagai Rochdale Principles, menjadi fondasi koperasi modern. Dalam setahun, koperasi mereka memiliki 74 anggota, dan pada 1851, asetnya mencapai £1.200. Gerakan koperasi tak berhenti di Inggris. Di Jerman, dua model koperasi lahir sebagai respons terhadap krisis ekonomi petani dan pengrajin:

Friedrich Wilhelm Raiffeisen (1818–1888): Sebagai walikota di Flammersfeld, ia menyaksikan bagaimana petani terjebak utang pada rentenir. Tahun 1864, ia mendirikan Heddesdorfer Creditverein, koperasi kredit pertama yang fokus pada petani miskin. Raiffeisen menekankan solidaritas kelompok yaitu anggota bertanggung jawab bersama atas pinjaman, dan koperasi beroperasi tanpa profit.

Hermann Schulze-Delitzsch (1808–1883): Di kota Delitzsch, ia membentuk Vorschussverein (koperasi simpan-pinjam) untuk pengrajin dan pedagang kecil. Berbeda dengan Raiffeisen, model Schulze bersifat urban dan profit-sharing.

Kedua model ini menyebar ke Austria, Belanda, dan Prancis, menyesuaikan dengan kebutuhan lokal. Di Prancis, misalnya, Charles Gide (1847–1932) mempopulerkan koperasi produsen (coopératives de production) yang memungkinkan buruh memiliki alat produksi.

Pertengahan abad ke-19, koperasi telah menjadi fenomena global. Untuk menyatukan gerakan ini, delegasi dari Inggris, Jerman, Prancis, Belgia, dan Italia berkumpul di London pada 19 Agustus 1895. Mereka mendirikan International Cooperative Alliance (ICA), organisasi payung pertama untuk koperasi sedunia.

ICA kemudian merumuskan 7 Prinsip Koperasi (diadopsi dari Rochdale, direvisi tahun 1966 dan 1995) yaitu kemandirian, tanggung jawab sosial, peduli komunitas, dan partisipasi ekonomi yang inklusif. Hari ini, ICA mencatat ada 3 juta koperasi di dunia dengan 1,2 miliar anggota. Dari Mondragon Corporation di Spanyol (koperasi pekerja terbesar) hingga Ocean Spray di AS (koperasi petani cranberry), koperasi membuktikan bahwa ekonomi bisa manusiawi, demokratis, dan berkelanjutan.

Gerakan yang dimulai oleh 28 penenun miskin di Rochdale itu telah menjadi salah satu transformasi sosial terbesar dalam sejarah dilaksanakan tanpa senjata, tanpa kekerasan, hanya dengan tekad untuk hidup lebih adil. Koperasi pun menjelma menjadi solusi nyata melawan kesenjangan yang dilakukan tanpa kekerasan, tanpa revolusi berdarah, hanya dengan gotong royong.

Sejarah Koperasi di Indonesia

Sejarah koperasi di Indonesia tidak terlepas dari narasi perlawanan terhadap sistem ekonomi kolonial yang eksploitatif. Pada akhir abad ke-19, Hindia Belanda memberlakukan kebijakan ekonomi yang meminggirkan pribumi, terutama melalui sistem tanam paksa (cultuurstelsel) dan dominasi pedagang Tionghoa sebagai perantara. Dalam kondisi ini, benih-benih koperasi mulai tumbuh sebagai bentuk resistensi. Tahun 1896, Patih Purwokerto R. Aria Wirjaatmadja mendirikan Hulp-en Spaarbank der Inlandsche Bestuurs Ambtenaren (Bank Bantuan dan Simpanan untuk Pegawai Pribumi), yang dianggap sebagai cikal bakal koperasi di Indonesia. Lembaga ini memberikan pinjaman dengan bunga rendah untuk melawan praktik lintah darat yang merajalela. Namun, pemerintah kolonial justru melihatnya sebagai ancaman dan memberangus perkembangan koperasi pribumi melalui Regeling op de Cooperatieve Vereeniging (1915) yang hanya mengakui koperasi untuk orang Eropa.

Sejarah Koperasi

Memasuki awal abad ke-20, gerakan koperasi mulai terkait erat dengan kebangkitan nasionalisme. Organisasi pergerakan seperti Budi Utomo (1908) dan Sarekat Islam (1911) memasukkan koperasi dalam program pemberdayaan ekonomi rakyat. Tahun 1913, Sarekat Islam mendirikan Sarekat Dagang Islam yang berfungsi sebagai koperasi pedagang batik untuk melawan monopoli pengusaha Tionghoa. Tokoh seperti H.O.S. Tjokroaminoto melihat koperasi bukan hanya sebagai alat ekonomi, tetapi juga senjata politik untuk mencapai kemandirian dari kolonialisme. Sayangnya, Belanda kembali menekan melalui Inlandsche Cooperatiewe Ordinantie (1927) yang mewajibkan izin khusus untuk pendirian koperasi pribumi. Kebijakan ini membuat banyak koperasi pribumi gulung tikar atau bergerak di bawah tanah.

Periode 1930-an menjadi fase penting ketika konsep koperasi mulai dikembangkan secara intelektual oleh para founding fathers Indonesia. Mohammad Hatta, yang sedang belajar di Belanda, terinspirasi oleh koperasi kredit Raiffeisen dan menulis buku Koperasi sebagai Bangun Perusahaan yang Cocok untuk Indonesia (1933). Dalam tulisannya, Hatta menekankan bahwa koperasi sesuai dengan budaya gotong royong masyarakat Indonesia dan bisa menjadi alternatif dari kapitalisme maupun komunisme. Sementara itu, di dalam negeri, dr. Soetomo melalui Persatoean Bangsa Indonesia (1930) mendirikan koperasi-koperasi kecil di Jawa Timur yang fokus pada simpan pinjam dan distribusi beras. Pada masa ini juga muncul Koperasi Pegawai Negeri yang dimotori oleh para priyayi rendahan sebagai bentuk perlawanan terhadap diskriminasi upah antara pegawai Eropa dan pribumi.

Pendudukan Jepang (1942-1945) membawa perubahan paradoksal bagi perkembangan koperasi. Di satu sisi, Jepang membubarkan semua organisasi pergerakan termasuk koperasi yang berafiliasi dengan nasionalis. Namun di sisi lain, mereka mendirikan Kumiai—koperasi model Jepang yang bertujuan untuk mengeruk hasil bumi Indonesia demi kepentingan perang Asia Timur Raya. Kumiai mengontrol distribusi beras, gula, dan tekstil secara ketat, yang justru membuat rakyat semakin menderita. Pengalaman pahit ini memberikan pelajaran berharga bagi para pejuang kemerdekaan tentang pentingnya koperasi yang benar-benar mandiri dan berorientasi pada kepentingan rakyat.

Setelah proklamasi kemerdekaan 1945, koperasi mendapatkan posisi strategis dalam bangunan ekonomi Indonesia. Pasal 33 UUD 1945 secara tegas menyatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar asas kekeluargaan—sebuah formulasi yang terinspirasi langsung dari prinsip-prinsip koperasi. Tahun 1947, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1947 tentang Peraturan Pokok Koperasi yang menjadi landasan hukum pertama. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden sekaligus Bapak Koperasi Indonesia gencar mempromosikan koperasi sebagai soko guru perekonomian. Pada masa revolusi fisik ini, bermunculan koperasi-koperasi darurat yang berfungsi untuk: (1) mengatur distribusi makanan untuk tentara dan rakyat, (2) mengelola dana perjuangan, dan (3) mempertahankan harga dasar produk pertanian dari inflasi yang mencapai 600% pada 1949.

Namun, perkembangan koperasi pasca-kemerdekaan tidak berjalan mulus. Persoalan klasik seperti kurangnya pendidikan koperasi, manajemen yang lemah, dan intervensi politik mulai muncul. Pada masa Demokrasi Liberal (1950-1957), banyak koperasi yang justru dimanfaatkan sebagai alat mobilisasi dana partai politik. Pemerintah mengeluarkan UU No. 79 Tahun 1958 yang membagi koperasi berdasarkan afiliasi politik—sebuah kebijakan yang kontraproduktif dengan prinsip netralitas koperasi. Meski demikian, periode ini juga mencatat kemajuan seperti berdirinya Gabungan Koperasi Batik Indonesia (GKBI) yang berhasil menguasai 70% produksi batik nasional dan menjadi contoh sukses koperasi produsen. Tantangan-tantangan inilah yang kemudian menjadi pekerjaan rumah bagi perkembangan sejarah koperasi di Indonesia pada era-era berikutnya.

Perkembangan Koperasi di Indonesia

Pasca-kemerdekaan, perkembangan koperasi di Indonesia mengalami dinamika yang kompleks yang mencerminkan perubahan politik, ekonomi, dan sosial bangsa. Pada masa Orde Lama (1950-1965), koperasi dijadikan alat politik dan alat negara untuk mewujudkan sosialisme ala Indonesia. Pemerintah Soekarno mengeluarkan Undang-Undang No. 14 Tahun 1965 yang menempatkan koperasi sebagai bagian dari sistem ekonomi terpimpin. Kebijakan ini menyebabkan koperasi kehilangan kemandiriannya karena diintervensi oleh negara dan dijadikan alat distribusi program-program pemerintah, seperti distribusi beras dan tekstil. Namun, di tengah politisasi ini, muncul beberapa koperasi yang tetap berpegang pada prinsip dasar, seperti Koperasi Pusat Batik Indonesia (KPBI) di Jawa Tengah yang berhasil mengekspor batik ke Eropa dan Amerika Serikat pada awal 1960-an.

Sejarah Koperasi

Memasuki era Orde Baru (1966-1998), koperasi mengalami dualisme kebijakan. Di satu sisi, pemerintah Soeharto menggalakkan program Koperasi Unit Desa (KUD) sejak 1969 sebagai bagian dari Trilogi Pembangunan. KUD difungsikan sebagai penyangga program Bimas (Bimbingan Massal) untuk distribusi pupuk, benih, dan alat pertanian. Pada puncaknya tahun 1980-an, terdapat sekitar 8.000 KUD di seluruh Indonesia dengan aset kolektif mencapai Rp1,2 triliun. Namun di sisi lain, KUD dijadikan alat kontrol politik melalui monoloyalitas—setiap pegawai negeri diwajibkan menjadi anggota KUD tertentu. Praktik korupsi dalam proyek KUD seperti kasus KUD Tani Makmur di Jawa Timur (1987) yang merugikan negara Rp12 miliar menjadi bukti penyimpangan sistem ini. Di luar KUD, koperasi swadaya seperti Koperasi Kredit Artha Graha di Bali (didirikan 1970) justru tumbuh sehat karena dikelola secara profesional dan mandiri.

Era Reformasi (1998-sekarang) membawa angin segar bagi kemandirian koperasi. Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang No. 25 Tahun 1992 (diperbarui dengan UU No. 17 Tahun 2012) yang menekankan prinsip otonomi, demokrasi ekonomi, dan partisipasi anggota. Data Kementerian Koperasi dan UKM (2023) mencatat terdapat 127.000 koperasi aktif dengan total aset Rp300 triliun dan volume usaha Rp500 triliun per tahun. Beberapa pencapaian penting antara lain:

Koperasi Simpan Pinjam (KSP): Menguasai 22% pasar mikro di Indonesia, dengan contoh sukses seperti KSP Mitra Dhuafa di Bogor yang memiliki aset Rp2,3 triliun (2023).

Koperasi Produsen: Koperasi Peternakan Bandung Utara (KPBU) mengekspor susu olahan ke Malaysia dan Singapura senilai Rp120 miliar per tahun.

Koperasi Digital: Koperasi Digital Indonesia (Kopindos) yang menghubungkan 5.000 UMKM melalui platform e-commerce.

Proyeksi ke depan dalam perkembangan koperasi di Indonesia diharapkan dapat mengadopsi teknologi seperti blockchain untuk transparansi keuangan, memperkuat jejaring melalui holding koperasi seperti model Mondragon Corporation di Spanyol, dan memperluas pasar melalui skema koperasi ekspor berbasis komoditas unggulan daerah.

Dengan sejarah koperasi yang cukup panjang sejak era kolonial hingga digitalisasi saat ini, koperasi Indonesia terus membuktikan ketangguhannya sebagai sistem ekonomi kerakyatan yang relevan di setiap zaman.

Saat anak kesulitan memahami pelajaran, bimbingan les privat SD Edumaster bisa jadi solusi tepat! Dengan metode belajar personal, guru les privat Edumaster siap membantu buah hati Anda menguasai materi sekolah lebih mudah dan menyenangkan. Tak hanya fokus pada akademik, tapi juga membangun kepercayaan diri dan kemandirian belajar.

Kenapa Pilih Kami?

  • Guru berkualitas & berpengalaman
  • Jadwal fleksibel sesuai kebutuhan
  • Materi disesuaikan dengan kurikulum sekolah
  • Pembelajaran interaktif & tidak membosankan

Jangan biarkan anak tertinggal dalam pelajaran! Yuk, tingkatkan prestasinya sekarang juga dengan bimbingan les privat SD Edumaster.

📞 Hubungi kami hari ini atau kunjungi edumasterprivat.com untuk info lebih lengkap! 

Table of Contents

Rekomendasi Les Privat

Les Privat SD

Les Privat SD

related Post

Prestasi yang kamu raih di bangku sekolah bisa menjadi cara masuk kuliah jalur prestasi untuk mendapatkan beasiswa saat mendaftar ke

Mempelajari cara menghitung rata-rata nilai rapor bukan hanya tugas matematika yang mudah, tetapi juga keterampilan penting yang sangat bermanfaat di

Persiapan kuliah di Malaysia bagi mahasiswa Internasional telah menjadi salah satu destinasi favorit bagi mahasiswa internasional yang ingin melanjutkan pendidikan